Sabtu, 23 September 2017

Selamat dan sukses kepada ananda Istar Bismuth Sururi yang berhasil meraih Special Award Champion (Olimpiade Fisika) dan Mega Nugraha (Ismu in English) dalam ajang ME AWARDS 2017 yang dihelat di Dome UMMalang 23 September 2017.
Semoga tradisi juara dalam setiap perhelatan ME AWARDS terus terjaga.



Minggu, 17 September 2017

Pesantren Takeran Saksi Bisu Pemberontakan PKI 18 September 1948

Ratusan orang dijagal dan dimasukkan ke dalam sumur tua yang ada di tengah perkebunan tebu sewaktu pemberontakan PKI Madiun pada September 1948. Anehnya malah terlihat dilupakan atau dianggap tak penting!

Perkebunan tebu tampak mengering mengiringi sengatan suhu yang dibuat matahari di sekitar wilayah Takeran, Kabupaten Magetan, Jawa Timur. Di dashboard mobil tercatat suhu di luar ruangan mencapai 40 derajat Celcius. Udara terasa mengepul seolah tanpa oksigen. Angin perdesaan yang lazimnya sejuk, terasa seperti sengatan bara.

Di sebuah warung tikungan jalan yang letaknya di samping pabrik gula Rejosari, Kecamatan Kawedanan, Magetan, beberapa orang lelaki tampak duduk meriung sebuah warung. Di seberang jalan tampak sebuah tugu yang dipucuknya terpacak patung burung garuda terbang. Saat itu beberapa orang datang berkunjung ke monumen dalam rangka peringatan Hari Kesaktian Pancasila. Sebuah karangan bunga diletakkan di kaki tugu tersebut.

''Ya, persis di bawah tugu itulah dulu lubang pembantaian PKI 1948. Setelah jenazahnya diambil, sumur ditimbun kembali. Beberapa tahun setelah tragedi itu di situ kemudian didirikan monumen,'' kata Jumiran (57 tahun), warga Desa Rejosari, akhir pekan lalu (30/9).

Menurut Jumiran, para pengunjung monumen tak hanya datang pada bulan September atau Oktober saja. Pada hari biasa banyak juga keluarga korban pembantaian yang datang untuk berdoa dan tabur bunga. ''Mereka datang dari jauh, dari luar Magetan. Kadang ada juga yang menyelenggarakan tahlilan di situ,'' tukas Pariyem (75 tahun), warga Desa Rejosari lainnya.
Ketika ditanya siapa sebenarnya yang dulu "ditanam" di dalam lobang sumur itu, Pariyem mengaku tak tahu persis karena dia saat itu masih anak-anak. Hanya, orang tuanya memberitahu bahwa mereka yang dibunuh bukan berasal dari kampungnya. ''Mereka orang jauh. Kata orang tua, ada bupati, wedana, jaksa, kiai, haji, pegawai, dan lainnya. Untuk persisnya, lihat saja nama-nama yang ada di tembok monumen,'' ujarnya.
Dan ketika dicek di tembok monumen, di sana terpacak 26 nama. Mereka di antaranya bupati Magetan, para anggota kepolisian, patih Magetan, wedana, kepala pengadilan Magetan, kepala penerangan Magetan, lima orang kiai, dan para warga biasa lainnya. Selain itu masih ada lima sumur lainnya yang juga dipakai sebagai ajang pembantaian. Bila dijumlahkan, seluruh korban pembantaian tercatat ada 114 orang. Mereka diantar ke l
okasi eksekusi dengan cara diangkut dengan gerbong lori milik yang biasa untuk mengangkut tebu. 

Beberapa nama ulama yang ada di monumen itu di antaranya tertulis KH Imam Shofwan. Dia pengasuh Pesantren Thoriqussu'ada Rejosari, Madiun. KH Shofwan dikubur hidup-hidup di dalam sumur tersebut setelah disiksa berkali-kali. Bahkan, ketika dimasukkan ke dalam sumur, KH Imam Shofwan sempat mengumandangkan azan. Dua putra KH Imam Shofwan, yakni Kiai Zubeir dan Kiai Bawani, juga menjadi korban dan dikubur hidup-hidup secara bersama-sama.
Selain itu, beberapa nama yang menjadi korban adalah keluarga Pesantren Sabilil Mutaqin (PSM) Takeran. Mereka adalah guru Hadi Addaba' dan Imam Faham dari Pesantren Sabilil Muttaqin, Takeran. Imam Faham adalah adik dari Muhammad Suhud, paman dari mantan mendiang ketua DPR M Kharis Suhud. Selain perwira militer, pejabat daerah, wartawan, politisi pun ikut menjadi korbannya.
Pengasuh Pondok Pesantren Sabilil Mutaqin (PSM) KH Zakaria (83 tahun) mengatakan, seusai shalat Jumat pada 17 September 1948 pesantrennya didatangi beberapa orang tokoh PKI. Kepala rombongan yang dipimpin aktivis PKI Suhud. Mereka datang didampingi para pengawal bersenjata yang dikenali sebagai kepala keamanan di Takeran.
'Ketika menjemput kepada Kiai Mursyid Suhud menukil ayat Alquran, innalloha laa yughoyirru bi qoumin hatta yughoyiyiru maa bi anfusihim (Sesungguhnya Allah tidak mengubah nasib satu kaum kecuali kaum itu mengubah nasibnya sendiri). Setelah berkata seperti itu, Kiai Mursyid pun dibawa pergi dan sampai sekarang tak diketahui rimbanya,'' kata Zakaria seraya mengaku bahwa peristiwa itu dan siapa saja orangnya hingga sekarang masih diingatnya dengan baik. 

Zakaria menceritakan, tak cukup menyerbu pesantren PSM Takeran, pada saat itu banyak pesantren lain yang ada di sekitar Madiun dan Magetan yang juga didatangi gerombolan masa PKI pimpinan Muso itu. Salah satu di antara yang diserbu itu adalah Pesantren Tegalrejo, sebuah pesantren tua yang ada tak jauh dari wilayah Takeran.

''Ketika massa PKI sampai di pesantren Tegalrejo itu, pengasuh pondok, KH Imam Mulyo ditangkap dan dilempari beberapa granat sembari diancam agar mau tunduk kepada ideologi dan partai mereka. Syukurnya granat itu tak meledak,'' ujar Zakaria.

Karena granat tak meledak, lanjutnya, maka kini ganti para santri yang tadinya diam saja berbalik melawan mereka. Para gerombolan itu ternyata pengecut karena malah lebih memilih lari karena ketakutan. "Mbah Kiai Pesantren Tegalrejo akhirnya bisa lolos dari penculikan,'' ungkap Zakaria. Dia kemudian menerangkan bila masa yang menyerbu pesantren itu berpakaian hitam, bersenjata, dan berikat kepala merah.

Melihat proses penculikan, di kemudian hari Zakaria menyimpulkan bahwa aksi kejam berupa penculikan dan pembunuhan yang dilakukan oleh PKI pada bulan September tahun 1948 itu bukanlah aksi biasa yang tanpa tujuan. Setidaknya, mereka benar-benar sudah mempersiapkannya dengan matang. Ini terbuti hanya dalam waktu singkat para pemberontakan tersebut mampu menguasai wilayah yang cukup luas, yakni meliputi Madiun, Magetan, Ponorogo, Pacitan, Trenggalek, Ngawi, Purwantoro, Blora, Pati, Cepu, dan Kudus.

''Sebelum meledak, di sekitar Takeran beterbaran aneka pamflet tentang Muso yang baru pulang dari Moskow. Pesantren Takeran dipilih untuk diserbu karena saat itu menjadi tempat atau basis pergerakan Islam. Kiai Mursyid mau diajak berunding karena sudah tahu pesantrennya terancam akan dibakar,'' tegas Zakaria.
             *  
Tak hanya menyapu daerah di timur Gunung Lawu, aksi PKI di tahun 1948 juga memakan "wilayah barat", seperti Klaten dan Solo. Tanpa dinyana dalam sebuah perbincangan ringan di pinggir Kali Code, Yogyakarta, pada 1 Oktober lalu, seorang cucu Lurah sebuah desa di Klaten, Jawa Tengah, Arfan Suasdiantoro menceritakan nasib keluarganya yang pada tahun 1948 dibantai PKI.

''Eyang saya yang bernama Pudjo Sukarto adalah seorang kepala desa. Beliau dibunuh PKI hanya karena mendirikan mushala. Tiba-tiba saja segerombolan orang datang menyerbu rumah. Mereka merebut pistol eyang saya dan menembaknya di bagian leher tembus hingga bagian kepala. Ibu saya yang saat itu masih berusia sekitar enam tahun menyaksikan langsung peristiwa itu,'' kata Arfan.

Arfan mengatakan, kisah pembunuhan sang kakek memang telah diceritakan kepada semua saudaranya. Dan ibunya pun berpesan agar peristiwa itu dijadikan pelajaran bahwa pada saat itu memang telah ada ideologi yang tidak menghargai kepercayaan orang beragama.

sumber : http://khazanah.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/17/09/18/owgf5j385-pesantren-takeran-saksi-bisu-pemberontakan-pki-18-september-1948-part1


Rabu, 06 September 2017

Seruan Nabi Ibrahim dan Refleksi Gugatan Kepada Negara


TANAH tandus bebongkah-bongkah. Padang pasir seluas Sahara, terhampar di hadapan sejauh mata memandang.
Semuanya seperti tak berdaya bila hidup berlama-lama di kota ini. Panas menyengat hingga ke ubun-ubun kepala.
Hati jadi nanar membayangkan perjuangan seorang hamba utusan Tuhan saat berdakwah, berkhotbah, dan memberi penyadaran tauhid ajaran agama kepada kaum jahilliyah masa itu. 
Seseorang berbisik dengan suara yang sebenarnya terdengar lantang di telinga saya. “Kalian bayangkan betapa keras dan susahnya, saat Nabi maupun Rasul utusan Allah SWT menapak kaki dengan unta, membumikan wahyu agama langit. Penentangan kaum jahilliyah terhadap upaya memporak-porandakan berhala yang disembah nenek-moyang mereka, dibalas pula dengan cara tak pernah putus asa mengolok-olok bahkan mencelakakan Nabi Ibrahim, Nabi Ismail, maupun Muhammad Rasulullah SAW,” kata pria bersorban putih.
Perawakannya tinggi besar. Suara tawanya renyah. Ia bukan pembimbing ibadah kami. Seperti saya, ia juga mendapat undangan ke Tanah Suci. Saat itu saya tidak mengenal namanya, lagi pula tidak pernah punya urusan dengan dirinya.
Kami telah melewati Mina, Muzdalifah, dan Arafah. Saatnya kami mengelilingi bangunan yang mendekati bentuk kubus di tengah Masjidil Haram di Kota Mekkah al-Mukarahmah.
Labbaika Allahumma Labbaik. Aku tunduk kepada-Mu setelah ketundukan. Pertahanan diri saya jebol. Suara tangis meruak layaknya air bah dicurahkan langit.
Sudah lama saya tidak menangis. Sudah lama hati saya mengeras layaknya bongkahan batu sangat kokoh. Sudah lama saya bersenggama dengan ambisi saya buat mengejar karir dan pendapatan bagi pundi-pundi keuangan keluarga.
Kali ini saya harus takluk, tangis pecah membahana tak ubah kanak-kanak menangis saat terpencar dari ayahnya di tengah keramaian pasar. Di tengah keharuan yang menyeruak tanpa mampu saya bendung, saya mendekat ke pusat pusaran, dan menjejakkan kepala ke dalam Hajar Aswad.
Saya berdoa bagi orang yang sangat saya cintai: ibunda dan papa yang sudah lama berpulang menghadap Ilahi.
Di sela-sela jeda melaksanakan ibadah, rombongan kami sibuk dengan urusan masing-masing. Ada yang berbelanja ke Pasar Seng yang legendaris. Ada yang tekun melaksanakan ibadah salat lima waktu di Masjidil Haram.
Ada yang leyeh-leyeh menikmati nyamannya hotel InterContinental Dar Al Tawhid tempat menginap yang hanya sepenggalan galah ke Masjidil Haram. Tapi yang membuat saya terperangah, bukan pada sosok orang dari bangsa-bangsa asing beribadah.
Bukan pada seorang jenderal purnawirawan yang masih gagah dalam rombongan kami. Bukan pada sosok artis molek yang ikut memenuhi seruan Ibrahim. Tapi pada sosok bersahaja, humble, dan sangat memperhatikan keluhan jemaaah yang ia layani.
Bukan hanya ia seorang yang melayani kami. Tapi istrinya, dan seorang anak perempuan remaja, ikut bekerja secara langsung bahu-membahu.
Mereka menggalang tenaga tanpa ewuh pakewuh sebagai owner perusahaan jasa, bahkan tak tersirat kesan ada ketinggian hati saat melayani jemaaahnya. Padahal saya tahu, ia pemilik travel haji danumrah termashur di Tanah Air tahun 2003.
Belakangan ini, saat orang-orang merasa miris, kecewa, melontarkan kutukan, dan sumpah-serapah lainnya, hati saya tergoda ingin tahu lebih jauh. Sebuah angka yang maha dahsyat pun terungkap kepada khalayak, betapa spetakuler dana masyarakat terkumpul, dan kini tak dapat ia pertanggungjawabkan.
Konon, mendekati angka 60 ribu jemaaah lagi belum bisa diberangkatkan sebagai kewajiban korporasi. Gaya hidup jetset pun membuat orang terperanjat dengan sosok pengendali travel ibadah haji dan umrah yang dikelola suami-istri ini.
Dalam hati, sungguh kontrakdiksi yang sangat tajam. Di satu sisi, sosok sederhana yang saya kenal saat itu, Fuad Hasan Mansyur, pemilik sebuah travel perjalanan haji yang ternama, yang jemaaahnya juga ribuan orang tiap tahun.
Meski sudah puluhan tahun berkeringat melayani jemaah sejak 1986, ia tetap sosok bersahaja, murah senyum, dan jauh dari kesan glamour. Saat anak dan istrinya ikut turun langsung melayani jemaah sebagai contoh kecil betapa ia tawaddu menjalani usaha.
Jauh berbeda dengan Andika Surachman dan Anniesa Hasibuanpemilik First Travel yang tak dapat bertanggung jawab atas dana ratusan miliar rupiah dari kliennya. Hati saya pilu, perih, menjerit sampai ke titik nadir.


Senin, 04 September 2017

REVITALISASI PERAN KELUARGA

Keluarga merupakan komunitas pertama dan utama dalam pendidikan seorang anak. Penerusan nilai-nilai dan kebiasaan baik dilakukan pertama kali di dalam keluarga. Orangtua berperan penting mendidik anak-anak di dalam keluarga.
Sayangnya, kata Muhadjir (Mendikbud), orangtua saat ini pada umumnya tidak memiliki banyak waktu untuk mendidik anak. Fenomena orangtua bekerja di kota-kota besar membuat anak seakan-akan dititipkan proses pendidikannya pada sekolah.
Waktu orangtua bertemu dan berkomunikasi dengan anak cenderung sangat terbatas. Tak hanya itu, kemajuan teknologi juga memicu orangtua lebih sibuk dengan gadget daripada bermain bersama anak.
Bahkan, dia melanjutkan, sebagian orangtua yang merasa bersalah karena tak memiliki banyak waktu bagi anak justru menghadiahi anak dengan gadget. Padahal, tak serta merta gadget berdampak positif bagi anak. "Proses sosialisasi anak berpotensi terbatas," ujarnya.
Kebijakan pemerintah menerapkan lima hari sekolah tak lepas dari fenomena itu. Dalam sepekan, anak bisa memiliki dua hari bersama orangtua jika sekolah berlangsung hanya lima hari. "Dua hari dalam sepekan menjadi hari keluarga. Itulah saatnya keluarga berperan optimal mendidik anak," katanya.
Pemerintah juga berencana menerapkan eduparenting bagi orangtua yang anaknya mulai bersekolah. Program pendidikan keorangtuaan akan diberikan di awal tahun ajaran dalam bentuk diskusi atau seminar. "Eduparenting juga bisa dimasukkan dalam materi pendidikan pra-perkawinan yang diatur oleh Kementerian Agama," ujarnya.